BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kalau kita mendengar orang berbicara entah berpidato, atau
bercakap-cakap, maka kita akan mendengar runtutan bunyi bahasa yang
terus-menerus kadang-kadang terdengar pula suara pemanjangan dan suara biasa.
Pembicaraan merupakan runtutan bunyi bahasa yang terus-menerus,
kadang terdengar suara naik dan turun, hentian sejenak atau agak lama, tekanan
keras atau lembut dan kadang suara pemanjangan atau biasa. Runtutan bunyi
bahasa dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan tingkatan kesatuannya
ditandai dengan hentian atau jeda dalam runtutan bunyi.Pada tahap pertama,
dapat disegmentasikan berdasarakan jeda yang paling besar kemudian pada tahap
berikutnya dapat disegmentasikan lagi sampai pada kesatuan runtutan bunyi yang
disebut silabel atau suku kata. Jadi, silabel merupakan satuan runtutan bunyi
yang ditandai dengan satu satuan bunyi yang paling nyaring. Untuk menentukan
ada berapa silabel pada sebuah kesatuan runtutan bunyi bisa dilihat dari jumlah
vokal yang terdapat di dalamnya.
Bidang linguistik yang mempelajari runtuatan bahasa disebut
fonologi.
Menurut hierarki satuan bunyi bahasa yang menjadi objek studinya,
fonologi dibedakan menjadi dua, sebagai berikut:
1.
Fonetik
yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan
apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
2.
Fonemik
yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa denagn memperhatikan
fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fonologi
Istilah fonologi ini berasal dari gabungan dua kata Yunani
yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti
tatanan, kata, atau ilmu disebut juga tata bunyi. Akan tetapi, bunyi yang
dipelajari dalam Fonologi bukan bunyi sembarang bunyi, melainkan bunyi bahasa
yang dapat membedakan arti dalam bahasa lisan ataupun tulis yang digunakan oleh
manusia.
Sementara John Rupet Firth memberikan arti fonologi adalah peranan
atau hubungan dari unsur-unsur fonologi dalam konteks fonologi dari struktur
suku kata dan unsur-unsur lain yang bersamaan secara paradigmatik yang dapat
berperanan dalam konteks yang serupa. [1]
B. Sejarah Perkembangan Fonologi
Sejarah fonologi dapat dilacak
melalui riwayat pemakaian istilah fonem dari waktu kewaktu Pada sidang
Masyarakat Linguistik Paris, 24 mei 1873, Dufriche Desgenettes mengusulkan nama
fonem, sebagai padanan kata Bjm Sprachault. Ferdinand De Saussure dalam bukunya
“ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les Langues
Indo-Europeennes” “memori tentang sistem awal vokal bahasa-bahasa Indo eropa” yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan
fonem sebagai prototip unik dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi
dalam bahasa – bahasa anggotanya.
Gambaran
mengenai perkembangan fonologi dari waktu ke waktu dapat dilihat lewat berbagai
aliran dalam fonologi.
Aliran
Kazan. Dengan tokohnya Mikolaj Kreszewski, aliran ini mendefinisikan fonem
sebagai satuan fonetis tak terbagi yang tidak sama dengan antropofonik yang
merupakan kekhasan tiap individu.
Tokoh
utama aliran kazan adalah Baudoin de Courtenay (1895). Menurut linguis ini,
bunyi – bunyi yang secara fonetis berlainan disebut alternan, yang berkerabat
secara histiris dan etimologis. Jadi, meskipun dilafalkan berbeda, bunyi –
bunyi itu berasal dari satu bentuk yang sama. Pada 1880, Courtenay melancarkan
kritiknya terhadap presisi atas beberapa fona yang dianggapnya tidak
bermanfaat. Pada 1925, paul passy mempertegas kritik tersebut.
Ferdinand
De Saussure. Dalam bukunya “Cours de Linguistique Generale” ‘ Kuliah Linguistik
umum’, Saussure mendefinisikan fonologi sebagai studi tentang bunyi-bunyi
bahasa manusia.dari definisi tersebut tercermin bahwa bunyi bahasa yang
dimaksud olehnya hanyalah unsur-unsur yang terdengar berbeda oleh telinga dan yang
mampu menghasilkan satuan-satuan akustik yang tidak terbatas dalam rangkaian
ujaran. Jadi dapat dikatakan bahwa Saussure menggunakan kriteria yang semata-mata
fonetis untuk menggambarkan fonem dan memempatkannya hanya pada poros
sintagmatik.
Lalu
Saussure mengoreksinya dan mengatakan bahwa pada sebuah kata yang penting
bukanlah bunyi melainkan perbedaan fonisnya yang mampu membedakan kata itu
dengan yang lain. Dengan konsep-konsepnya, meskipun tidak pernah mencantumkan
istilah struktur maupun fungsi, Saussure dianggap telah membuka jalan terhadap
studi fonologi yang kemudian diadaptasi oleh aliran Praha.
Aliran
Praha. Aliran Linguistik Praha terdiri dari sekelompok ahli bahasa dari Czechoslovakia dan Negara-negara lain
yang tergabung dalam “The Linguistic Circle of Prague” (kelompok linguistik
praha). Dalam konfrensi pertama mengenai filologi bahasa Slavonia pada tahun
1929 “The Lingui“The Linguistic Circle of Prague” menyampaikan buku “Travaux du Cercle
Lingistique de Pregue” yang pertama. Pada waktu yang hampir bersamaan buku
“Remarques” karangan Roman Jackobson muncul yang merupakan buku pertama yang
membicarakan secara eksplisit masalah-masalah fonologi diakronik dalam kerangka
konseptual yang baru dikembangkan.
Pada
tahun 1930 pertemuan internasional mengenai fonologi diadakan di praha, dan
Asosiasi Internasional untuk studi fonologi dibentuk. Anggaran dasar Asosiasi
Internasional tersebut disetujui pada kongres internasional ahli bahasa kedua
di Geneva pada tahun 1931. Pertemuan pertama Asosiasi Internasional untuk studi
fonologi dilaksanakan bersamaan dengan kongres internasional ilmu-ilmu fonetik
di Amsterdam pada tahun 1932.[2]
Aliran
London. Aliran londom dipelopori oleh Jhon.R. Firth seorang guru besar pada
Universitas London yang sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi
prosodi[3].
Oleh karena itu sering pula aliran yang dikembangkannya disebut aliran
Firthians, aliran Firth. Titik berat perhatiaannya pada bidang fonetik dan fonologi,.
Kaum Firthians ini sangat terkenal karena kecendrungannya untuk menerapkan
hal-hal yang praktis. Mereka yang beraliran ini antara lain: H. Sweet, D.
Jones, B. Malinowsi, dan J.R. Firth sendiri.[4]
C. Kedudukan Fonologi dalam cabang-cabang linguistik
Sebagai bidang yang berkonsentrasi
dalam deskripsi dan analisi bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fofonogi berguna
bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik lainnya.
1. Fonologi dalam bidang morfologi
Dalam bidang
morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata
(mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang
timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi.
Misalnya ketika menjelaskan, megapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara
bervariasi antara [pukUl] dan [pUkUl], serts diucapkan [pukulan] setelah
mendapat proses morfologis dengan penambahan morfemsufiks {-an}, praktis “minta
bantuan “ hasil studi fonolog.
2. Fonologi dalam bidang sintaksis
Bidang
sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan
dengan kalimat Kamu disini. (kalimat berita), Kamu di sini?
(kalimat tanya), dan kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang
ketiganya mempunyai maksud berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga
kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi ,
yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat,
yang ternyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
3. Fonologi dalam bidang semantik
Pada bidang
semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna katapun tidak jarang
memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan
ucapannya, kapan tidak. Misalnya,
mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervariasi [tahu],
[tau], [teras], dan [t∂ras] akan bermakna lain.
4. Fonologi dalam bidang leksikologi dan leksokografi
Leksikologi,
juga leksokografi, yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu
bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus mauun tidak, sering memanfaatkan
hasil kajian fonologi.
5. Fonologi dalam bidang dialektologi
Bidang
dialektologi, yang bermaksud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi
bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama
variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa, baik secara sosial maupun geografis.
6. Fonologi dalam bidang linguistik terapan
Begitu juga
pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajran bahasa
kedua dan pengajaran bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan
harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada
pembelajar (the leaner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan
cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan
cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil
kajian fonologi.
7. Fonologi dalam bidang psikolinguistik
Psikolinguistik
ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak
juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Misalnya, mengapa bunyi-bunyi bilabial
dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi-bunyi labiodental.[5]
D. Manfaat Fonologi dalam penyusunan ejaan bahasa
Ejaan adalah peraturan pergambaran
atau perlambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur,
yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau
melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.
Tata cara penulisan bunyi ujar (baik
segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi,
terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagai
contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan
memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan
dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal
dengan ejaan fonemis.[6]
E. Objek kajian Fonologi
Sebagaimana yang diketahui fonologi
adalah ilmu yang mempelajari tentag pola dan system bunyi dalam sebuah bahasa
karena setiap bahasa memiliki pola dan system bunyi yang berbeda-beda.[7]
Oleh sebab itu, Objek dalam fonologi yang tiada lain adalah bunyi-bunyi
ujar, maka bunyi-bunyi ujar ini dapat
dilihat dari dua sudut pandang:
1. Fonetik.
Secara umum fonetik
biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa
tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak.[8] Sedangkan menurut Clark dan Yallop (1990),
fonetik merupakan bidang yang berkaitan erat dengan kajian bagaimana cara
manusia berbahasa serta mendengar dan memproses ujaran yang diterima.[9]
Secara umum
dalam studi fonologi, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik
artikuloris, fonetik akustis, dan fonetik audiotoris. Fonetik artikuloris,
disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana
mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa,
serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari
bunyi bahasa menurut aspek-aspek
fisiknya. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensinya, getarannya, amplitudonya,
intensitasnya dan timbrennya. Alat-alat yang digunakan untuk mengkaji gelombang bunyi bahasa dan
mengukur pergerakan udara antaralain, spektograf (alat untuk
menganalisis dan memaparkan frekuensi dan tekanan, oscilloskop (alat
untuk memaparkan ciri-ciri kenyaringan bunyi).
Fonetik
audiotoris atau fonetik persepsi ini mengarahkan kajiaanya pada persoalan
bagaimana manusia menentukan pilihan bunyi-bunyi yang diterima alat
pendengarannya. dengan arti kata kajian ini
meneliti bagaimana seseorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang
diterimanya sebagai bunyi-bunyi yang perlu diproses sebagai bunyi-bunyi
bahasa..
2. Fonemik
Setiap makna
yang membedakan aslinya dalam sebuah bahasa merupakan gambaran dari fonem.[10]
Jadi, Fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan
memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Kenneth L. Pike
mengatakan, “ a phoneme is one of the significant units of souds, or a
contranstive sound unit”. Berdasarkan rumusan tersebut jelaslah bahwa fonem
mempunyai fungsi pembeda, yaitu pembeda makna. Terlebih lagi fonem adalah salah
satu jalan untuk melihat fonologi sebuah bahasa.[11]
Disisilain fonem juga dapat diartikan sebagai sebuah symbol yang menunjukkan
unit kontrastif.[12]
Yang menjadi
masalah adalah bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan bunyi terkecil tersebut
berfungsi sebagai pembeda makna? Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah
melakukan pembuktian secara empiris, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk linguistik
bahasa yang diteliti. Dengan demikian, kalau kita ingin mengetahui fungsi bunyi
bahasa Indonesia, misalnya, kita harus membandingkan bentuk-bentuk linguistik
bahasa Indonesia.
a) Identifikasi Fonem
Untuk
mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah
satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu
membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang
pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti
bunyi tersebut adalah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna
kedua satuan bahasa itu. Misalnya, kata laba dan raba. Kedua kata itu hampir
mirip. Masing-masing terdiri dari empat bunyi. Yang pertama mempunyai bunyi
[l], [a], [b], [a] dan yang kedua
mempunyai bunyi [r], [a], [b], [a].
Ternyata
perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan [r]. Maka
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi [l] dan [r] adalah dua buah fonem
yang berbeda di dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [l]dan [r].[13]
Dua bentuk kata
yang mirip seperti diatas disebut kata-kata yang berkontras minimal atau
berpasangan minimal (minimal pair). Jadi, untuk menentukan sebuah fonem
atau bukan yang pertama haruslah dicari pasangan minimalnya terlebih dahulu.
Kadang-kadang pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah bunyi yang sama
persis. Misalnya, kata tuju dan tujuh juga merupakan pasangan
minimal, sebab tiada bunyi [h] pada kata itu mengubah maknanya. Jadi bunyi [h]
adalah fonem.[14]
Identitas fonem
hanya berlaku dalam satu bahasa tertentu saja. Misalnya, dalam bahasa inggris
ada bunyi [th] seperti kata top, dan bunyi [t] seperti pada kata stop.
Tetapi kedua bunyi itu bukan merupakan fonem yang berbeda, melainkan sebuah
fonem yang sama, sebab top dan stop bukan pasangan minimal.
b) Alofon
Alofon adalah variasi
dari fonem yang merupakan cara dari penutur, dan ini merupakan level atau
tingkatan yang lebih konkrit.[15]
seperti bunyi [ph] dan [p] untuk fonem bahasa inggris /p/ pada kata pace
[pheis] dan space [speis]. Identitas Alofon hanya berlaku
pada bahasa tertentu, dengan cara membandingkan bunyi ada distribusi
komplementer.
Yang dimaksud
distribusi komplementer atau distribusi saling melengkapi adalah tempatnya
tidak bisa ditukar dan bersifat tetap pada lingkungan tertentu. Misalnya, fonem
/o/ yang berada pada silabel terbuka diucapkan [o] seperti pada toko dan
bodo dan berada pad silabel yang tertutup diucapkan [ɔ] pada tokoh
dan bodoh.
Disamping
distribusi komplementer terdapat juga distribusi bebas yang mempunyai
pengertian bahwa alofon-alofon itu boleh digunakan tanpa persyaratan lingkungan
bunyi tertentu. Misalnya, jika bunyi [o] dan [ɔ] adalah alofon dari fonem /o/,
maka kata obat dapat dilafalkan [obat] dan bisa juga [ɔbat].[16]
c) Klarifikasi Fonem
Klarifikasi
fonem dapat digolongkan menjadi: fonem segmental dan fonem suprasegmental atau
fonem nonsegmental. Fonem segemental adalah fonem-fonem yang berupa bunyi, yang
didapat sebagai hasil segmentasi terhadap arus ujaran. Fonem segmental terdiri
atas vokal dan konsonan. Ciri dan karakterisitik vokal maupun konsonan ini sama
dengan klasifikasi bunyi vokal maupun konsonan. Misalnya, /a/, /b, /c/, /d/.
dan sebagainya. Sedangkan fonem suprasegmental adalah fonem yang berupa unsur
suprasegmental. Misalnya, tekanan,
durasi, nada. [17]
d) Khazanah Fonem
Khazanah fonem
adalah banyaknya fonem yang terdapta dalam suatu bahasa. Berapa jumlah fonem
dalam suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain.
Misalnya dalam bahasa penduduk asli di pulau Hawaii, yaitu hanya 13 buah,
sebuah bahasa di Kaukasus Utara adalah 75 buah, bahasa Arab hanya mempunyai 3
buah fonem vokal, bahasa Inggris dan bahasa Perancis mempunyai lebih dari 10
buah fonem vokal.[18]
e) Perubahan Fonem
Ucapan sebuah
fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada lingkungannya, atau pada
fonem-fonem lain yang berada di sekitarnya. Misalnya, seperti sudah fonem /o/
kalau berada pada silabel terbuka akan berbunyi [o] dan kalau berada pada
silabel tertutupakan berbunyi [ɔ]. Beberapa perubahan fonem yang epentesis
antara lain asimilasi dan disimilasi, netralisasi dan arkifoem, umlaut, ablaut
dan harmoni vokal, kontraksi dan hilangnya bunyi, metateis.[19]
1) Asimilasi dan Disimilasi
Asimilasi
adalah merupakan perubahan dari bunyi di bawah pengaruh bunyi-bunyi lainnya.[20]
Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan
sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi dan dipengaruhi.[21]
Misalnya, kata sabtu dalam bahasa Indonesia lazim diucapkan [saptu],
dimana terlihat bunyi [b] berubah menjadi [p] sebagai akibat pengaruh bunyi
[t].[22]
Kebalikan dari
asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi
yang tidak sama atau berbeda.[23]
Dalam proses disimilasi perubahannya menyebabkan dua buah fonem yang sama
menjadi fonem yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, misalnya kata cipta
dan cinta berasal dari bahasa sansekerta. Kita lihat, bunyi [tt] pada
kata citta berubah menjadi bunyi [pt] pada kata cipta dan menjadi
bunyi [nt] pada kata cinta.[24]
2) Netralisasi dan Arkifonem
Netralisasi
adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk
menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara memasangkan
minimal barang-parang bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa indomesia ada fonem
/b/ dan /p/. Tetapi pada kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/
bisa batal karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba
akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’],
yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap:
[atap’] dan [usap’].
Kalau begitu,
apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama? Tentu saja
tidak, sebab dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan
/p/. Prisnsip sekali fonem tetap fonem tetap diberlakukan. Kalaupun ingin
menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang
anggotanya adalah fonem /b/ dan /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama
arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit
dibatasi distribusiya.
3) Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal.
Kata umlaut
berasal dari bahasa Jerman. Dalam studi fonologi kata ini mempunyai pengertian
perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi vokal yang
lebih tinggi sebagai akibat dari vokal yang berikutnya yang lebih tinggi.
Misalnya, dalam bahasa belanda bunyi /a/ pada kata handje lebih tinggi
kualitasnya bila dibandingkan dengan bunyi /a/ pada kata hand.
Penyebabnya adalah bunyi /j/ yang posisinya lebih tinggi dari bunyi /a/ pada
kata hand.
Ablaut adalah
perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman untuk
menandai berbagai fungsi gramatikal. Misalnya, dalam bahasa Jerman vokal /a/
menjadi /ä/ untuk mengubah bentuk singularis menjadi bentuk pluralis, seperti
pada kata Haus “rumah” menjadi Hauser “rumah-rumah”.[25]
Harmoni vokal
atau keselarasan vokal, antara lain terdapat dalam bahasa turki. Misalnya, kata
at (kuda) bentuk jamaknya adalah atlar (kuda-kuda).[26]
4) Kontraksi
Kontraksi
adalah bentuk penyingkatan dari ujaran yang panjang menjadi pendek. Atau dalam
redaksi lain adalah proses penghilangan elemen pokok (bunyi, huruf, kata) dalam
sebuah kata.[27]
Umpamanya, dalam bahasa Indonesia tidak ada diucapkan menjadi tiada.[28]
5) Metatesis dan Epentesis
Metatesis
adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua
bentuk kata yang bersaing. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang
mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya kerikil
menjadi kelikir, jalur menjadi lajur.[29]
Epentesis
adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya, kapak
menjadi kampak, upama menjadi umpamanya. Sajak menjadi sanjak.[30]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisi, membicarakan
runtunan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi. Fonologi dibedakan menjadi
fonetikdan fonemik. Secara umum fonetik bisa dijelaskan sebagai cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi
tersebut berfungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah
cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi
bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Fonetik artikulatoris, disebut juga fonetik organis atau fonetik
fisiologis, mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat
bicara. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya.
Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensinya, getarannya, amplitudonya,
intensitasnya, dan timbrenya. Hal ini
memerlukan peralatan elektronis yang terdapat di lab bahasa. Sedangkan fonetik
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh
telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik, fonetik artikulatoris lebih mudah
dipelajari sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana
bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.
Dalam studi fonemik yang didalamnya terdapat beberapa pembahasan
mengenai fonem, identifikasi fonem, klasifikasi fonem, khazanah fonem, alofon,
perubahan fonem dapat memberi pemahaman tentang dasar-dasar fonologi khususnya
fonemik.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, Iswah. Pengantar Linguistik. Pamekasan: Stain Pamekasan
Press, 2006.
Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga, 2012.
Chaer, Abdul. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka
Cipta, 2002.
Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Boey.
Lim Kiat. An Introduction To Linguistics For The Language Teacher. Singapura:
Singapore University Press, 1975.
Jakobson.
Roman and Halle. Morris, Fundamentals of Language (The Hague, Mounton
& co.,1956.
J.W.M. Verhaar. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada
University Pers, 2011.
Muslich, Mansur. Fonologi
Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara, 2012.
Molyadi, Introduction To Linguistic, Pamekasan: STAIN
Pamekasan Press, 2011.
Ronald Wardhaugh, Introduction To Linguistics; Seconf Edition,
Toronto: University of Toronto Perss, tt
Samsuri. Berbagai Aliran linguistic Abad XX. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan, 1988.
Samsunuwiyati. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Refika
Aditama, 2011.
Yule, George. The Study of language; an Introductions. New
York: Cambridge University Press, 1985
.
[1] Abdul.Chaer, Psikolinguistik
kajian teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 75.
[2] Samsuri. Berbagai
Aliran linguistic Abad XX (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Pendidikan, 1988) 19.
[3] Abdul Chaer, Linguistic
Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 355.
[4] Iswah Adriana.
Pengantar Linguistik (Pamekasan:
Stain Pamekasan Press, 2006 ), 78.
[5] Mansur Muslich. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan
Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2012). 2-4.
[6] Ibid. 5
[7] George Yule, The
Study of language; an Introductions (New York: Cambridge University Press,
1985), 45.
[8] Ahmad HP, Alek
Abdullah. Linguistik Umum (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
[9] Muslich, Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 8.
[10] George Yule, The
Study of language; an Introductions , 44.
[11] Lim Kiat Boey, An
Introduction To Linguistics For The Language Teacher (Singapura: Singapore
University Press, 1975), 28 lihat juga
dalam Jakobson. Roman and Halle. Morris, Fundamentals of Language (The Hague,
Mounton & co.,1956.
[12] Ronald
Wardhaugh, Introduction To Linguistics; Seconf Edition (Toronto:
University of Toronto Perss, tt), 54.
[13] Chaer, abdul.
Linguistik Umum.,125.
[14] Ahmad HP, Alek
Abdullah. Linguistik Umum, 43.
[15] Molyadi, Introduction
To Linguistic (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2011), 12
[16] Ibid, 44.
[17] Chaer, abdul.
Linguistik Umum., 129.
[18] Ibid, 131
[19] Ahmad HP, Alek
Abdullah. Linguistik Umum, 45.
[20] Molyadi, Introduction
To Linguistic, 14.
[21] Muslich,
Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 118.
[22] Ahmad HP, Alek
Abdullah. Linguistik Umum, 46.
[23] Muslich,
Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 120.
[24] Ahmad HP, Alek
Abdullah. Linguistik Umum, 46.
[25] Chaer, abdul.
Linguistik Umum., 135.
[26] Ahmad HP, Alek
Abdullah. Linguistik Umum, 47.
[27] Molyadi, Introduction
To Linguistic, 15.
[28] Ahmad HP, Alek
Abdullah. Linguistik Umum, 48.
[29] Muslich,
Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 125.
[30] Ibid, 127.
RSS Feed
Twitter
07.43
jalaludin faruk
0 komentar:
Posting Komentar